BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Posisi manusia sebagai homo
educandum (makhluk yang dapat didik), homo education (makhluk
pendidik), dan homo religious (makhluk beragama) mengindikasikan bahwa
perilaku keberagamaan manusia, dapat diarahkan melalui pendidikan. Pendidikan
yang dimaksud di sini adalah pendidikan Islam, yakni dengan cara membimbing dan
mengasuhnya agar dapat memahami, menghayati ajaran-ajaran Islam, sehingga
tampak perilaku keberagamaan secara simultan dan terarah pada tujuan hidup
manusia. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang sangat ideal,[1] karena
menyelaraskan antara pertumbuhan fisik dan mental, jasmani dan rohani, pengembangan
individu dan masyarakat, serta dunia dan akhirat.
Menanamkan perilaku keberagamaan
terhadap peserta didik diharapkan memberikan pengaruh bagi pembentukan jiwa
keagamaan. Besar kecil pengaruh yang dimaksud sangat tergantung berbagai faktor
yang dapat memotivasi untuk memahami nilai-nilai agama, sebab pendidikan agama
pada hakekatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu, pendidikan agama
lebih dititik beratkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.[2]
Disinilah letak pentingnya rumusan
kurikulum yang mampu mengakomodir dan terjewantahkan ke seluruh dimensi ranah
pembelajaran di sekolah (madrasah). Letak permasalahan selanjutnya adalah
kurikulum Pendidikan Islam yang selama ini diterapkan belum mampu secara maksimal
menjadi tolok ukur utama keberhasilan pendidikan secara simultan.
Sistem pendidikan Islam memiliki
keunikan tersendiri, akibat adanya aturan-aturan nilai yang terkadang dianggap
menyimpang dari pemenuhan nilai-nilai pendidikan Islami. Salah satu yang urgen
dikaji bahwa pendidikan berlaku kepada seluruh manusia, tidak mengenal adanya
perbedaan streotipe jenis kelamin. Namun terdapat pandangan berbeda dalam
kesamaan pria dan wanita dalam sistem pemerolehan pendidikan dengan memandang
sisi posistif dan negatifnya.
Kaitannya dengan komponen kurikulum
dan sistem koedukasi di atas, maka tujuan pendidikan Islam melalui sistem
persekolahan/madrasah patut diberikan penekanan yang istimewa. Hal ini
disebabkan oleh pendidikan sekolah/madrasah mempunyai program yang teratur,
bertingkat dan mengikuti syarat yang jelas dan ketat. Hal ini mendukung program
pendidikan Islam yang lebih akomodatif, transformatif dan relevan dengan tujuan
pendidikan Islam. Para tokoh pembaharu dan pemikir Pendidikan Islam menanggapi
tentang kurikulum dan koedukasi pendidikan dengan beragam pandangan. K. H. M. Hasyim Asy’ari adalah soso pemikir
Pendidikan Islam yang memiliki pandangan signifikan tentang obyek kajian
pendidikan ini.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Biografi K. H. M. Hasyim Asy’ari
?
2.
Sebutkan karya pemikiran pendidikan
islam dan bagaimana konsep pemikiran pendidikan Islam K. H. M. Hasyim Asy’ari ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup K. H. M. Hasyim
Asy’ari
Nama
lengkap K. H. M. Hasyim Asy’ari adalah Muhammad K. H. M. Hasyim Asy’ari ibn
‘Abd Al-Wahid. Ia lahir di Gedang, sebuah desa di daerah Jombang, Jawa Timur,
pada hari selasa kliwon 24 Dzu Al-Qa’idah 1287 H. bertepatan dengan tanggal 14
Februari 1871.[3]
Asal-usul dan keturunan K. H.
M. Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana
diterangkan oleh K. H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang
tertinggi ialah neneknya yang kedua iaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan
bahawa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya
dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII).[4]
Menurut penuturan ibunya, tanda kecerdasan dan
ketokohan K. H. M. Hasyim Asy’ari sudah tampak saat ia masih berada dalam
kandungan. Di samping masa kandung yang lebih lama dari umumnya kandungan,
ibunya juga pernah bermimpi melihat bulan jatuh dari langit ke dalam kandungannya.
Mimpi tersebut kiranya bukanlah isapan jempol dan kembang tidur belaka, sebab
ternyata tercatat dalam sejarah, bahwa pada usianya yang masih sangat muda, 13
tahun, K. H. M. Hasyim Asy’ari sudah berani menjadi guru pengganti (badal) di
pesantren untuk mengajar santri-santri yang tidak jarang lebih tua dari umurnya
sendiri.[5]
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah
tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya,
Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan
permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena
sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.[6]
Semasa hidupnya, ia mendapatkan
pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu
Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu
ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan
Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. M.
Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru
kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub
lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan K. H. M. Hasyim Asy’ari dalam
perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya,
Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, K. H. M. Hasyim Asy’ari
melangsungkan pernikahan dengan putri K. H. Ya’kub tersebut.
Setelah nikah, K. H. M. Hasyim Asy’ari
bersama istrinya segera melakukan ibadah haji. Sekembalinya dari tanah suci,
mertua K. H. M. Hasyim Asy’ari menganjurkannya menuntut ilmu di Mekkah.
Dimungkinkan, hal ini didorong oleh tradisi pada saat itu bahwa seorang ulama
belumlah dikatakan cukup ilmunya jika belum mengaji di Mekkah selama
bertahun-tahun. Di tempat itu, K. H. M. Hasyim Asy’ari mempelajari berbagai
macam disiplin ilmu, diantaranya adalah ilmu fiqh Syafi’iyah dan ilmu Hadits,
terutama literatur Shahih Bukhari dan Muslim.
Disaat K. H. M. Hasyim Asy’ari
bersemangat belajar, tepatnya ketika telah menetap 7 bulan di Mekkah, istrinya
meninggal dunia pada waktu melahirkan anaknya yang pertama sehingga bayinya pun
tidak terselamatkan. Walaupun demikian, hal ini tidak mematahkan semangat
belajarnya untuk menuntut ilmu. K. H. M. Hasyim Asy’ari semasa tinggal
di Mekkah berguru kepada Syekh Ahmad Amin Al-Athar, Sayyid Sultan ibn Hasyim,
Sayyid Ahmad ibn Hasan Al-Athar, Syekh Sayyid Yamani, Sayyid Alawi ibn Ahmad
As-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliki, Sayid ‘Abd Allah Al-Zawawi. Syekh Shaleh
Bafadhal, dan Syekh Sultan Hasyim Dagastani.
Ia tinggal di Mekkah selama 7 tahun.
Dan pada tahun 1900 M. atau 1314 H. K. H. M. Hasyim Asy’ari pulang ke kampung
halamannya. Di tempat itu ia membuka pengajian keagamaan yang dalam waktu yang
relatif singkat menjadi terkenal di wilayah Jawa.[7]
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, K.
H. M. Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan
ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh K. H. M.
Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama
teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan
Jawa Timur. K. H. M. Hasyim Asy’ari dikenal
sebagai salah seorang pendiri NU (Nahdatul Ulama). Pada masa pendudukan Jepang,
K. H. M. Hasyim Asy’ari pernah ditahan selama 6 bulan, karena dianggap
menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Karena tuduhan itu tidak terbukti, ia
dibebaskan dari tahanan, atas jasa-jasanya dalam perjuangan melawan penjajah
Belanda dan Jepang, K. H. M. Hasyim Asy’ari dianugerahi gelar pahlawan
kemerdekaan nasional oleh Presiden RI.
Pada tahun 1926 K. H.
M. Hasyim Asy’ari mendirikan partai Nahdatul Ulama (NU). Sejak didirikan sampai
tahun 1947 Rais ‘Am (ketua umum) dijabat oleh K. H. M. Hasyim Asy’ari. Ia
pernah menjabat sebagai kepala Kantor Urusan Agama pada zaman pendudukan Jepang
untuk wilayah Jawa dan Madura.
K. H. M. Hasyim Asy’ari wafat pada
tahun 1947 di Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Hampir seluruh waktunya diabdikan
untuk kepentingan agama dan pendidikan.[8]
B.
Konsep Pemikiran Pendidikan
Islam Menurut K. H. M. Hasyim Asy’ari
Salah
satu karya yang sangat populer K. H. M Hasyim As’ari yang berbicara tentang
pendidikan adalah kitab Adaabul al aalimi swa al muta’allimi fiiahwaali ta’allumi
wamaa yatawaqqofu ‘alaihi al mu’allimu fii maqoomati al ta’limihi.
Untuk memahami pokok pikirannya dalam kitab tersebut perlu kita perhatikan
latar belakang ditulisnya kitab tersebut. Penyusunan karya ini boleh jadi
didorong oleh situasi pendidikan pada saat itu yang mulai mengalami perubahan
yang pesat, dari kebiasaan lama yang bersifat tradisional yang sudah mapan
kedalam bentuk baru akibat pengaruh dari pendidikan barat yang telah diterapkan
di Indonesia.
Buku
yang ditulisnya ini secara garis besar berisikan tentang, keutamaan ilmu dan
keutamaan belajar, tentang etika yang diperhatikan dalam belajar dan mengajar,
tentang etika murid kepada guru, tentang etika murid terhadap pelajaran dan
ha-hal yang harus dipedomi, tentang etika yang harus dipedomani seorang guru,
tentang etika guru ketika dan akan mengajar, tentang etika guru terhadap
murid-muridnya.
Dalam
kitab tersebut beliau merangkum pemikirannya tentang pendidikan Islam kedalam
delapan poin, yaitu :
- Keutamaan
ilmu dan keutamaan belajar mengajar
- Etika
yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar
- Etika
seorang murid kepada guru
- Etika
seorang murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomi berasama
guru
- Etika
yang harus dipedomi seorang guru
- Etika
guru ketika dan akan mengajar
- Etika
guru terhadap murid-murid nya
- Etika
terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang
berkaitannya dengannya.[9]
Dari delapan pokok pemikiran di atas, K. H. M.
Hasyim Asy’ari membaginya kembali kedalam tiga kelompok, yaitu :
- Signifikansi
Pendidikan
- Tugas
dan tanggung jawab seorang murid
- Tugas
dan tanggung jawab seorang guru.[10]
Pada dasarnya, ketiga kelompok pemikiran tersebut
adalah hasil integralisasi dari delapan pokok pendidikan yang dituangkan oleh K.
H. M. Hasyim Asy’ari.
a. Sigifikansi
Pendidikan
Dalam membahas
masalah ini, K. H. M. Hasyim Asy’ari mengorientasikan pendapatnya berdasarkan
alwur’an dan Al-Hadits. Sebagai contohnya ialah beliau mengambil pemikiran
pendidikan tentang keutamaan menuntut ilmu dan keutamaan bagi yang menuntut
ilmu dari surat Al-Mujadilah ayat 11 yang kemudian beliau uraikan secara
singkat dan jelas. Misalnya beliau menyebutkan bahwa keutamaan yang paling
utama dalam menuntut ilmu adalah mengamalkan apa yang telah dituntut. Secara
langsung beliau akan menjelaskan maksud dari perkataan itu, yaitu agar seseorang
tidak melupakan ilmu yang telah dimilikinya dan bermanfaat bagi kehidupannya di
akherat kelak.
K. H. M. Hasyim
Asy’ari menyebutkan bahwa dalam menuntut ilmu harus memperhatikan dua hal pokok
selain dari keimanan dan tauhid. Dua hal pokok tersebut adalah :
1. Bagi
seorang peserta didik hendaknya ia memiliki niat yang suci untuk menuntut ilmu,
jangan sekali-kali berniat untuk hal-hal yang bersifat duniawi dan jangan
melecehkan atau menyepelekannya
2. Bagi
guru dalam mengajarkan ilmu hendaknya meluruskan niatnya terlebih dahulu tidak
semata-mata hanya mengharapkan materi, disamping itu hendaknya apa yang
diajarkan sesuai dengan apa yang diperbuat.[11]
K. H. M. Hasyim Asy’ari juga menekankan bahwa
belajar bukanlah semata-mata hanya untuk menghilangkan kebodohan, namun untuk
mencari ridho Allah yang mengantarkan manusia untuk mendapatkan kebahagiaan
dunia dan akherat. Karna itu itu hendaknya belajar diniatkan untuk mengembangkan
dan melestarikan nilai-nilai islam bukan hanya semata-mata menjadi alat
penyebrangan untuk mendapatkan meteri yang berlimpah.
b. Tugas
dan Tanggung Jawab Murid
Murid sebagai
peserta didik memiliki tugas dan tanggung jawab berupa etika dalam menuntut
ilmu, yaitu :
1) Etika
yang harus diperhatikan dalam belajar
Dalam hal ini K. H. M. Hasyim
Asy’ari mengungkapkan ada sepuluh etika yang harus dipebuhi oleh peserta didik
atau murid, yaitu :
1. Membersihkan
hati dari berbagai gangguan keimanan dan keduniawian
2. Membersihkan
niat
3. Tidak
menunda-nunda kesempatan belajar
4. Bersabar
dan qonaah terhadap segala macam pemberian dan cobaan
5. Pandai
mengatur waktu
6. Menyederhanakan
makan dan minum
7. Bersikap
hati-hati atau wara’
8. Menghindari
makanan dan minuman yang menyebabkan kemalasan yang pada akhirnya menimbulkan
kebodohan
9. Menyediakan
waktu tidur selagi tidak merusak kesehatan
10. Meninggalkan
kurang faedah (hal-hal yang kurang berguna bagi perkembangan diri).[12]
Dalam hal ini tidak dibenarkan ketika seorang yang menuntut ilmu hanya
menekankan pada hal-hal yang bersifat rohaniah atau duniawiah saja, karena
keduanya adalah penting.
2) Etika
Seorang Murid Terhadap Guru
Etika seorang murid murid kepada
guru, sesuai yang dikatakan oleh K. H. M. Hasyim Asy’ari hendaknya harus
memperhatikan sepuluh etika utama, yaitu :
1. Hendaknya
selalu memperhatikan dan mendengarkan apa yang dijelaskan atau dikatakan oleh
guru
2. Memilih
guru yang wara’ artinya orang yang selalu berhati-hati dalam bertindak
disamping profesionalisme
3. Mengikuti
jejak guru yang baik
4. Bersabar
terhadap kekerasan guru
5. Berkunjung
kepada guru pada tempatnya atau mintalah izin terlebih dahulu kalau harus
memaksa keadaan pada bukan tempatnya
6. Duduklah
yang rapi dan sopan ketika berhadapan dengan guru
7. Berbicaralah
dengan sopan dan lemah lembut
8. Dengarkan
segala fatwanya
9. Jangan
sekali-kali menyela ketika sedang menjelaskan
10. Dan
gunakan anggota kanan bila menyerahkan sesuatu kepadanya.[13]
3) Etika
Murid Terhadap Pelajaran
Dalam menuntut ilmu murid hendaknya
memperhatikan etika berikut :
1. Memperhatikan
ilmu yang bersifat fardhu ‘ain untuk dipelajari
2. Harus
mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung ilmu-ilmu fardhu ‘ain
3. Berhati-hati
dalam menanggapi ikhtilaf para ulama
4. Mendiskusikan
atau menyetorkan apa yang telah ia pelajari pada orang yang dipercayainya
5. Senantiasa
menganalisa, menyimak dan meneliti ilmu
6. Pancangkan
cita-cita yang tinggi
7. Bergaulah
dengan orang berilmu lebih tinggi (intelektual)
8. Ucapkan
bila sampai ditempat majlis ta’lim (tempat belajar, sekolah, pesantren, dan
lain-lain)
9. Bila
terdapat hal-hal yang belum diketahui hendaknya ditanyakan
10. Bila
kebetulan bersamaan banyak teman, jangan mendahului antrian bila tidak
mendapatkan izin
11. Kemanapun
kita pergi kemanapun kita berada jangan lupa bawa catatan
12. Pelajari
pelajaran yang telah diajarkan dengan continue (istiqomah)
13. Tanamkan
rasa semangat dalam belajar.[14]
c. Tugas
dan Tanggung Jawab Guru
Dalam dunia
pendidikan tidak hanya seorang murid yang memiliki tanggung jawab. Namun
seorang guru juga memiliki tanggung jawab yang hampir serupa dengan murid,
yaitu :
1) Etika
Seorang Guru
Seorang guru dalam menyampaikan
ilmu pada peserta didik harus memiliki etika sebagai berikut :
1. Selalu
mendekatkan diri kepada Allah
2. Senantiasa
takut kepada Allah
3. Senantiasa
bersikap tenang
4. Senantiasa
berhati-hati
5. Senantiasa
tawadhu’ dan khusu’
6. Mengadukan
segala persoalannya kepada Allah SWT
7. Tidak
menggunakan ilmunya untuk keduniawian saja
8. Tidak
selalu memanjakan anak didik
9. Berlaku
zuhud dalam kehidupan dunia
10. Menghindari
berusaha dalam hal-hal yang rendah
11. Menghindari
tempat-tempat yang kotor atau maksiat
12. Mengamalkan
sunnah nabi
13. Mengistiqomahkan
membaca al-qur’an
14. Bersikap
ramah, ceria, dan suka menebarkan salam
15. Membersihkan
diri dari perbuatan yang tidak disukai Allah
16. Menumbuhkan
semangat untuk mengembangkan dan menambah ilmu pengetahuan
17. Tidak
menyalahgunakan ilmu dengan menyombongkannya
18. Dan
membiasakan diri menulis, mengarang dan meringkas.[15]
Dalam pembahasan ini ada satu hal yang sangat
menarik, yaitu tentang poin yang terakhir guru harus rajin menulis, mengarang
dan meringkas. Hal ini masih sangat jarang dijumpai, ini juga merupakan menjadi
salah satu faktor mengapa masih sangat sulit dijumpai karya-karya ilmiah.
Padahal dengan adanya guru yang selalu menulis, mengarang dan merangkum, ilmu
yang dia miliki akan terabadikan.
2) Etika
Guru dalam mengajar
Seorang guru ketika mengajar dan
hendak mengajar hendaknya memperhatikan etika-etika berikut :
1. Mensucikan
diri dari hadats dan kotoran
2. Berpakaian
yang sopan dan rapi serta berusaha berbau wewangian
3. Berniat
beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu
4. Menyampaikan
hal-hal yang diajarkan oleh Allah (walaupun hanya sedikit)
5. Membiasakan
membaca untuk menambah ilmu pengetahuan
6. Memberikan
salam ketika masuk kedalam kelas
7. Sebelum
belajar berdo’alah untuk para ahli ilmu yang telah terlebih dahulu meninggalkan
kita
8. Berpenampilan
yang kalem dan menghindarkan hal-hal yang tidak pantas dipandang mata
9. Menghindarkan
diri dari gurauan dan banyak tertawa
10. Jangan
sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, makan, marah, mengantuk, dan lain
sebagainya
11. Hendaknya
mengambil tempat duduk yang strategis
12. Usahakan
berpenampilan ramah, tegas, lugas dan tidak sombong
13. Dalam
mengajar hendaknya mendahulukan materi yang penting dan disesuaikan dengan
profesionalisme yang dimiliki
14. Jangan
mengajarkan hal-hal yang bersifat subhat yang dapat menyesatkan
15. Perhatikan
msing-masing kemampuan murid dalam meperhatikan dan jangan mengajar terlalu
lama
16. Menciptakan
ketengan dalam belajar
17. Menegur
dengan lemah lembut dan baik ketika terdapat murid yang bandel
18. Bersikap
terbuka dengan berbagai persoalan yang ditemukan
19. Berilah
kesempatan pada murid yang datang terlambat dan ulangilah penjelasannya agar
mudah dipahami apa yang dimaksud
20. Dan
apabila sudah selesai berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan
hal-hal yang belum dimengerti.[16]
Dari pemikiran yang ditawarkan oleh K. H. M. Hasyim
Asy’ari tersebut, terlihatlah bahwa pemikirannya tentang etika guru dalam
mengajar ini sesuai dengan apa yang beliau dan kita alami selama ini. Hal ini
mengindikasikan bahwa apa yang beliau fikirkan adalah bersifat fragmatis atau
berdasarkan pengalaman. Sehingga hal inilah yang memberikan nilai tambah begi
pemikirannya.
3) Etika
Guru Bersama Murid
Guru dan murid pada dasarnya
memiliki tanggung jawab yang berbeda, namun terkadang seorang guru dan murid
mempunyai tanggung jawab yang sama, diantara etika tersebut adalah :
1. Berniat
mendidik dan menyebarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at islam
2. Menghindari
ketidak ikhlasan dan mengejar keduniawian
3. Hendaknya
selalu melakukan instropeksi diri
4. Menggunakan
metode yang sudah dipahami murid
5. Membangkitkan
semangat murid dengan memotivasinya, begitu murid yang satu dengan yang lain
6. Memberikan
latihan – latihan yang bersifat membantu
7. Selalu
memperhatikan kemapuan peserta didik yang lain
8. Bersikap
terbuka dan lapang dada
9. Membantu
memecahkan masalah dan kesulitan peserta didik
10. Tunjukkan
sikap yang arif dan tawadhu’ kepada peserta didik yang satu dengan yang lain.
Bila sebelumnya seorang murid dengan guru memiliki
tugas dan tanggung jawab yang berbeda, maka setelah kita telaah kembali,
ternyata seorang guru dan murid juga memiliki tugas yang serupa seperti
tersebut di atas. Ini mengindikasikan bahwa pemikiran K. H. M. Hasyim Asy’ari
tidak hanya tertuju pada perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh peserta didik
dan guru, namun juga keasamaan yang dimiliki dan yang harus dijalani. Hal ini
pulalah yang memberikan indikasi nilai utama yang lebih pada hasil
pemikirannya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas, dapatlah diketahui bahwa ketokohan K. H. M. Hasyim Asy’ari
dikalangan masyarakat dan organisasi Islam tradisional bukan saja sangat
sentral tetapi juga menjadi tipe utama seorang pemimpin, sebagaimana diketahui
dalam sejarah pendidikan tradisional, khususnya di Jawa. Peranan K. H. M.
Hasyim Asy’ari yang kemudian dikenal dengan sebutan Hadrat Asy-Syaikh
(guru besar di lingkungan pesantren).
Salah
satu karya yang sangat populer K. H. M Hasyim As’ari yang berbicara tentang
pendidikan adalah kitab Adaabul al aalimi swa al muta’allimi fiiahwaali ta’allumi
wamaa yatawaqqofu ‘alaihi al mu’allimu fii maqoomati al ta’limihi
Dalam
kitab tersebut beliau merangkum pemikirannya tentang pendidikan Islam kedalam
delapan poin, yaitu :
1.
Keutamaan ilmu dan keutamaan belajar mengajar
- Etika
yang harus diperhatikan dalam belajar mengajar
- Etika
seorang murid kepada guru
- Etika
seorang murid terhadap pelajaran dan hal-hal yang harus dipedomi berasama
guru
- Etika
yang harus dipedomi seorang guru
- Etika
guru ketika dan akan mengajar
- Etika
guru terhadap murid-murid nya
- Etika
terhadap buku, alat untuk memperoleh pelajaran dan hal-hal yang
berkaitannya dengannya.
Dari delapan pokok pemikiran di atas, K. H. M.
Hasyim Asy’ari membaginya kembali kedalam tiga kelompok, yaitu :
- Signifikansi
Pendidikan
- Tugas
dan tanggung jawab seorang murid
- Tugas
dan tanggung jawab seorang guru
Peranan
K. H. M. Hasyim Asy’ari sangat besar dalam pembentukan kader-kader ulama
pemimpin pesantren, terutama yang berkembang di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dalam bidang organisasi keagamaan, ia pun aktif mengoganisir perjuangan politik
melawan kolonial untuk menggerakkan masa, dalam upaya menentang dominasi
politik Belanda.
Dan
pada tanggal 7 September 1947 (1367 H), K. H. Hasyim Asy’ari, yang bergelar Hadrat
Asy-Syaikh wafat. Berdasarkan keputusan Presiden No. 29/1964, ia diakui
sebagai seorang pahlawan kemerdekaan nasional, suatu bukti bahwa ia bukan saja
tokoh utama agama, tetapi juga sebagai tokoh nasional.
B. Saran
Dalam
penulisan makalah ini kami pemakalah mengakui dan sadar akan keterbatasan kami
dalam menyajikan makalah ini, untuk itu kami mohon bimbingan dari dosen untuk
meluruskan makalah ini untuk menambah wawasan kami sebagai pemakalah agar dapat
memperbaiki diri dalam mengerjakan tugas makalah dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Al-
Abrasyi, Athiya, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta, Bulan
Bintang, 1984.
http
habibah-kolis.blogspot.com200801hasyim-asyari.
html
Ensiklopedia Islam, Departemen Agama, Jakarta 1993.
DR.H.
Samsul Rizal, M.A. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat Pers. Jakarta. 2002
Amril
M. 2002. Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ensiklopedia
Islam, Departemen Agama, Jakarta 1993
[1] Hasan Langgulung, Pendidikan
dan Peradaban Islam; Suatu Analisa Sosio-Psikologi, (Jakarta, Pustaka
Al-Husna, 1985,), h. 3
[9] DR.H. Samsul Rizal, M.A. Filsafat Pendidikan Islam. Ciputat Pers.
Jakarta. 2002.Halaman 155
[10] Ibid. Halaman 156
[11] Cop.cit. Halaman 157
[12] Cop.Cit. Halaman 157
[13] Cop.Cit.Halaman 158
[14] Cob.Cit. Halaman 159
[15] Cop.Cit. Halaman 161
[16] Cop.Cit. Halaman 167 – 168
Tidak ada komentar:
Posting Komentar